Kata ‘baca’ identik dengan ilmu. Dalam menuntut ilmu, tidak bisa kita tepis bahwa kata ‘baca’ dan seterusnya ‘membaca’ sangat memiliki peran besar dan memberikan kontribusi cara atau metode dalam proses mendapatkan ilmu tersebut. Sepertinya membaca adalah cara lama dalam belajar dibandingkan cara-cara modern (menonton TV, mendengar radio), tapi tidak kalah ‘jagonya’ telah mengantarkan para ilmuan terkenal tardahulu yang masih hidup ilmunya disaat ini, yang dulu mereka dalam menuntut ilmu atau belajar hanya dengan cara membaca, menghafal atau mendengar.
Mari kita intip pepatah antik “Membaca adalah jendela dunia.” Siapapun yang ingin membuka rahasia dunia ini seluas-luasnya, maka ia harus membuka jendela dunia tersebut dengan ‘membaca’. Tidak bisa dihindari bahwa dengan membaca bisa membuka sesuatu yang belum kita ketahui, menjadi penerang dalam kegelapan ‘buta’ ilmu penetahuan, menambah wawasan. Yang terpenting menjadikan kita pribadi-pribadi yang dinamis dan berkualitas tinggi.
Lebih menarik lagi kita melirik situs pepatah yang juga tak kalah uniknya “Reading is the key”. Membaca adalah kunci hidup sukses. Kunci hidup makmur. Kunci hidup berjaya dan maju. Seperti yang pernah dikatakan oleh duta baca nasional Tantowi Yahya yang intinya bahwa jika kita tidak membaca, berarti tidak membaca pangkal kebodohan, kebodohan pangkal kemiskinan.
Oleh karena itu, suatu bangsa, negara atau umat, jika ingin maju haruslah banyak membaca. Kemajuan atau kemunduran suatu negara dapat dilihat dari minat baca rakyatnya. Jika tingkat minat bacanya tinggi, maka negara tersebut merupakan ciri-ciri negara yang maju. Bahkan negara itu memiliki dedikasi dan disegani oleh negara-negara lain. Karena apa? Karena meraka lebih banyak membaca. Sebaliknya, jika minat bacanya rendah, kemajuan dan kejayaan akan sulit tercapai, karena membaca merupakan ilmu, jika kita tidak memiliki ilmu, maka secara otomatis kita dalam ‘kekaraman’ yang nyata.
Sebuah penelitian yang pernah dipublikasikan oleh majalah Al-Furqan edisi 367 oleh Isa Al-Qadumi dalam suatu studi banding dilakukan untuk mengetahui persentase rata-rata aktivitas membaca manusia di seluruh dunia. Hasilnya menyatakan bahwa persentase rata-rata bacaan seorang laki-laki yang bekerja di toko dan pekerja biasa di Jepang adalah 40 buku setahun. Sementara ditengah masyarakat Eropa adalah 10 buku dalam setahun. Adapun di Dunia Arab adalah sepersepuluh buku dalam setahun. Berarti, ia memmbaca 20 halaman dari buku yang jumlah halamannya sekitar 200 halaman dalam setahun. Sementara di Indonesia belum diketahui secara pasti, karena tidak seluruh warganya selalu membaca buku. Masih sulit untuk mengukurnya dan menjadi tanda tanya besar bagi kita semua.
Segala sesuatu ada ilmunya, demikian pula untuk memajukan suatu negara, bangsa, umat. Jika tidak tahu ilmunya dikarenakan tidak membaca, maka sesuatu yang tidak kita ketahui akan menjadi musuh. Muhammad bin Husen berkata, ”pelajarilah oleh kamu berbagai macam ilmu, karena musuh setiap orang itu adalah apa yang tidak ia ketahui.”
Hari ini, justru kebiasaan membaca inilah yang kurang kita indahkan, yang kita abaikan. Tidak heran jika negara yang kita tempati belum mengecapi perubahan dan kemajuan yang nyata dari berbagai sendi kehidupan. Keterpurukan dimana-mana, tapi minat baca malah lebih terpuruk. Kita tidak saja sedang krisis ekonomi, tapi krisis minat baca. Pada dasarnya dengan membaca kita bisa lebih membaca situasi ekonomi yang baik, begitu juga politik, sosial, dan yang sangat penting Agama sebagai jalan lurus yang nyata.
Pada dasarnya negara maju telah menerapkan budaya membaca, karena mereka paling tahu kunci kemajuan, yaitu membaca. Dr. Raghib As-Sirjani mengatakan bahwa membaca adalah proklamasi yang menghapus sifat “ummiyah” (tidak dapat membaca dan menulis). Membaca merupakan kunci ilmu dan pengetahuan. Membaca adalah jalan kita menuju kemajuan dan kejayaan. Jadi, jika suatu negara ingin sukses dan maju, harus banyak membaca.
Keterpurukan ini memang nyata, namun suara ‘pembebasan’ ini akan lebih berarti jika kita menyadari akan pentingnya membaca. Kebiasaan membaca yang baik ini sudah mulai pudar, tidak hanya menyerang kalangan rakyat biasa, akan tetapi sudah menyebar dikalangan para ‘pecinta ilmu’ atau ‘intelektual’ pelajar dan mahasiswa perguruan tinggi. Suatu fakta menggelitik yang penulis dikutip dari Muhammah bin Husen dalam bukunya Baca Yuk...! menjelaskan bahwa ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa terhadap semua alumni di sebuah perguruan tinggi. Ia ingin mengetahui sejauh mana hubungan setiap mahasiswa dengan buku. Hasilnya cukup megejutkan, ternyata 72% dari alumni tersebut tidak pernah sekalipun meminjam buku dari perpustakaan yang ada di kampus selama dia meyelesaikan kuliah di perguruan tinggi itu. Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan ‘bencana luar biasa.”
Kesadaran untuk membaca memang bisa meningkat dan menurun sesuai dengan persepsi dan motivasi para pembacanya. Kita menyayangkan jika minat baca disuatu negara mengalami krisis yang akan berakibat terhadap kemajuan dari berbagai sendi kehidupan lainnya. Namun sangat disayangkan lagi, jika kebiasaan membaca ini hanya sebatas hobi, pelipur lara, atau menghilangkan kebosanan. Memang kita tidak harus membuat statement bahwa ini pekerjaan sia-sia, tapi apa sebenarnya makna ‘membaca’ ini bagi kita? Mari kita bersama luangkan waktu sejenak memikirkan hal ini. Pada hakikatnya membaca bukan sekedar hobi. Sekali lagi bukan hobi. Akan tetapi lebih dari itu, membaca merupakan kebutuhan bagi kita.
Kita memang butuh membaca. Dalam mempelajari, menelaah, terlebih lagi dalam menuntut ilmu kita harus membaca. Membaca adalah kubutuhan seperti butuhnya kita untuk makan, jika seorang pelajar dan mahasiswa dalam belajar ia butuh membaca, ia lapar tanpa membaca, ia tidak tahu apa-apa tanpa membaca. Sampai-sampai ada seorang dosen yang mengatakan,”buku (membaca) adalah nyawanya mahasiswa, artinya matinya ilmu mahasiswa itu kalau ia tidak punya buku atau membacannya.” Bisa kita bayangkan, betapa butuhnya kita dalam hal membaca. Maka membaca bukan hobi, tapi kebutuhan. Butuhnya kita dengan membaca sama dengan butuhnya kita dengan makanan. Ini dinyatakan oleh Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Spritual Reading, bahwa membaca bukan sekedar hobi, tapi merupakan kebutuhan. Kebutuhan kita dalam membaca seperti kebutuhan kita terhadap makan dan minum.
Dari paparan diatas tentunya kita tahu kedudukan dan arti membaca bagi kehidupan kita. Sekarang tergantung kepada individu itu sendiri, apakah ia butuh jendela untuk melihat dunia dengan luasnya wawasan cakrawala dengan ‘membaca’ atau ingin membuka kesuksesan dan kemajuan dengan kunci ‘membaca’ atau sama sekali tidak mengambil sesuatu apa pun dari semua itu.
Tidak terlepas dari peran individu dari suatu bangsa, terutama bangsa Indonesia tercinta, akan tetapi tindakan nyata dari pemerintah yang memiliki cita-cita mulia mencerdaskan kehidupan bangsa, ya salah satunya dengan memberikan dukungan moril maupun materil untuk menigkatkan minat baca rakyat Indonesia.
Sebuah pertanyaan aneh, tapi nyata yang kerap ganggu tidur penulis, akankan ada hari ‘membaca nasional’? Semua orang ‘diwajibkan’ membaca di mana saja berada (di rumah, sekolah, di bus, di terminal, di pesawat, di taman, di kantin) selama satu hari penuh, baca koran gratis, bagi-bagi buku gratis. Ini bukan mimpi, tapi seharusnya menjadi salah satu program pendidikan yang nyata. Kita semua juga tahu membaca itu bisa dilakukan setiap hari, tapi mengapa harus ada hari khusus? Apa tidak menambah libur nasional?
Sebaiknya kita balik bertanya, bukankan setiap kejadian penting, bersejarah bahkan sesuatu yang kurang logis sekalipun juga tercantum dalam libur nasional ataupun yang tidak tercantum, tapi juga diperingati? Misalnya, kita dari hal yang sangat penting dan bersejarah yang di peringati harinya yaitu; hari kemerdekaan RI, hari sumpah pemuda, hari Ibu Kartini, hari Ibu, hari Pendidikan Nasional, perayaan hari raya Agama, hari AIDS sedunia, hari AIR, dan masih banyak lagi hari-hari yang diperingati, yang belum ada dalam daftar tersebut hanya ‘hari baca nasional’. Ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita bahwa motivasi dan minat baca masih belum tinggi dibandingkan negara-negara lain. Ini benar-benar keadaan yang ‘luar biasa’ memprihatinkan. Mari kita belajar sesuatu yang baik dan berharga dari orang lain, jelasnya negera-negara maju. Misalnya, kebiasaan baik orang jepang adalah membawa dan membaca buku kemanapun mereka pergi, seperti di dalam bus, kereta api, di kantor, di rumah, di pesawat dan di taman.
Pada dasarnya orang cinta akan ilmu, mereka akan belajar baik dengan membaca buku-buku maupun membaca keadaan dan peluang yang ada. Mereka sangat menghargai buku sebagai ladang ilmu, membacanya, bahkan terkadang uang makan mereka alihkan untuk membeli buku. Dr. Raghib As-Sirjani mengatakan bahwa orang yang tahu nilai suatu buku, ia akan mengambil jatah makan dan minumnya untuk membeli buku. Sebaik-baik kekasih dan teman adalah buku. Membawa buku adalah bagian dari kewibawaan.
Lebih lanjut kata-kata indahnya dalam hal membaca juga lantunkannya dengan rapi. Ia mengatakan bahwa orang yang gemar membaca akan sulit dikalahkan. Membaca bisa menemukan rasa percaya diri. Membaca dapat memperluas wawasan, memperkaya hati, menajamkan pikiran, melancarkan bicara, dan memberikan inspirasi. Hal yang sangat menarik lagi bahwa kata ‘baca’ dan perintah membaca adalah wahyu yang pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW.
Dengan bijak kita telah bisa menelaah secara nyata tentang penting dan makna membaca dalam kehidupan ini. Kita renungkan bersama lagi, bahwa tidak ada alasan untuk tidak memulai membaca. Membaca adalah kebutuhan yang harus kita penuhi. Membaca, kita memang tidak boleh tidak membaca. Kalau kita tidak membaca, kapan perubahan itu akan terjadi? Kapan kemajuan itu nyata? “Reading is the key” atau Iqra’. Baca, baca dan baca.
0 Response to "Banyak ‘Membaca’ Kunci Negara Maju"
Posting Komentar