Pahlawan Nasional dari Rokan Hulu (Tuanku Tambusai)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuib-6YWzcrSv106UUNMf8vjHT3RurM6ewiUQuoinvjT5fvRmceaSNhyJYEHt0L_Vc7KYplnE1No_aoQzBDhlZcZXqKv4a6Dk83ILM0858xrAW4cV9Cr2eyyBbqJjjEL18ji4WKEf32RuB/s1600/Tuanku+Tambusai.jpg
foto: kisahislamiah.blogspot.com


TUANKU TAMBUSAI adalah salah seorang tokoh pejuang dari Rokan Hulu dalam Perang Paderi di awal abad ke XIX. Pada masa itu daerah Rokan Hulu masih bagian integral dari wilayah Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Setelah jatuhnya Benteng Bonjol dan penangkapan terhadap Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837, maka perjuangan kaum Paderi dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai sebagai panglima terakhir yang masih tersisa bersama sisa laskar Paderi bertahan di benteng terakhir kaum Paderi di daerah Dalu-Dalu Rokan Hulu. Benteng ini pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1838 setelah digempur selama hampir 1 tahun. Dengan jatuhnya benteng tersebut, berakhirlah era Perang Paderi di seluruh wilayah adat Minangkabau. (https://id.wikipedia.org)

Tuanku Tambusai
De Padriesche Tijger van Rokan


Pahlawan Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 071/TK/1995
Tanggal 7 agustus 1995

Mekah dan menetap di Padang lawas (1820)

Tuanku Tambusai Tampil di Benteng Rao
Ketika pertikaian antara Paderi dengan kaum adat dan raja-raja, Pakih Saleh tidak ikut campur, itulah sebabnya beliau menyingkir ke Padang Lawas (Mandhiling/Tapanuli Selatan)
Tiga tahun lamanya Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan terlibat Perang (1825) Perjanjian damai yang diadakan seperti Perjanjian Masang 22 Januari 1824 tidak pernah bertahan lama, keduabelah pihak saling melanggar.
Pada tanggal 20 Juli 1825 perang Diponegoro Pecah, Hindia Belanda terpaksa mengerahkan pasukan ke Jawa.

Belanda merubah siasat dengan menjalin hubungan bersama Sayed Salim Ul Jufrie, orang arab sebagai perantara pada tanggal 15 Nopember 1925 diadakan perjanjian Padang antara Belanda, berjanji tidak akan saling menyerang.
Oleh sebab itu hingga tahun 1830 Dipertuan Rao masih tetap berkuasa.
Oleh sebab itu Yang Dipertuan Rao tidak ada alasan benci dengan Belanda, namun manatunya si Pokki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan Tuanku Rao dapat mengartikan taktik Belanda itu.

Tuanku Rao menantikan kedatangan sama belajar di Kubung-12 Rao yaitu Tuanku Tambusai/Pakih Saleh.
Tuanku Tambusai tiba di Rao Februari 1830 yang disambut Tuanku rao.
Tuanku Tambusai didampingi seorang sahabat dan penasehat pribadinya Imam Perang Muhammad Jawi dan seorang ajudan bernama Haji Muhammad Saman, sedangkan para pengiring berkawal di luar pagar, ketika Tuanku Tambusai selesai mengungkapkan niat jahat Belanda,
Yang Dipertua Rao tetap tidak dapat menerima alasan tersebut "Aku tidak punya alasan untuk memusuhi Belanda"

Akhirnya dibujuk Yang Dipertuan Rao agar menyerahkan kekuasaan kepada Tuanku rao dikarenakan usia Yang Dipertuan Rao tidak memungkinkan lagi, Akhirnya tahun 1830 kekuasan itu diserahkan kepada Tuanku Rao.

Mengapa hal ini perlu dilakukan oleh Tuanku Tambusai, dikarenakan Rao adalah benteng Rao dalam strategi Perang, merupakan pintu gerbang ke tiga jurusan, yakni ke Minangkabau (arah Barat), ke Tapanuli (arah Timur), ke Lhak Tambusai/Riau (arah Utara).

Setelah perang Diponegoro berakhir dengan ditawannya Pangeran Diponegoro  pada tanggal 28 Maret 1830, kekuatan di jawa ditarik lagi ke Sumatera untuk menghadapi perang Paderi.

September 1832 Belanda menyerang Benteng Rao, akhirnya 16 hari bertahan benteng Rao dikosongkan oleh pejuang Paderi (oktober 1832) Tuanku Rao beserta pasukannya mengundurkan diri ke Air Bangis.
Kemenangan ini Belanda merubah nama Benteng Rao dengan FORT AMERONGEN" Dipimpin oleh Letnan Engelbrecht, Van Vervoorden, Letnan Logemann dan Popye.

Mulailah Tuanku Tambusai membuat siasat, menyeludupkan prajurid yang berani mati ke Rao sebagai penduduk disana untuk menculik satu persatu tentara Belanda dan dipenggal kepalanya lalu diletakkan ditengah jalan, hal ini membuat  tentara Belanda yang ada di Fort Amerongen ketakutan takut keluar kampung, dan diperintahkan setiap malam masyarakat memasang lampu di depan rumah.

Belanda memasuki tahun baru 1833 dengan penuh kecemasan. Letnan Engelbrecht mengutus mata-mata ke Tambusai untuk mengetahui pribadi Tuanku Tambusai, mata-mata orang Mandahiling yang besar di Batavia ini menulis semua yang dilihatnya sehingga pada akhir penutupan laporan ditulis kalimat "Een der indrukken, die ik reeds lang, voordat ik in Mandahiling kwam, had is daar zeer versterkt, nl. dat ze is een Padriesche Tijger, een Padriesche Tijger van Rokan.
(Suatu kesan yang telah bersemi dalam diri saya lama sebelum saya datang ke Mandahiling, bertambah keras setelah saya berada disana, yakni bahwa dia adalah seekor harimau padri, seerkor Harimau Paderi yang berasal dari Rokan).

Laporan tersebut membuat prajurit Belanda di Benteng Amerongen ketakutan dan lemah semangat, apalagi beberapa serangan di tempat lain seperti :
7 Januari 1833 pasuka Belanda yang dipimpin Letkol Vermeulen Krieger digempur oleh pejuang paderi di Sipisang hingga sebagian besar binasa.
Empat hari kemudian 11 Januari 1833 terjadi pemusnahan terhadap pendudukan Belanda di Bonjol.

Dengan keadaan demikian Belanda mulai mencari kontak dengan Tuanku Tambusai guna mengadakan perdamaian, Surat yang dikirim Engelvrecht tidak direspon namun dibalas dengan bunyi surat sebagai berikut :
...neen, Amerongen Wat helpen ons gebeden. Het onrecht heeft te lang geduurd. De Inlander van Tambusai en mandahiling, en zijn en de luhahgemente vormen van ouds den kleinen-man, de dienstbaren, die dus nedering te houden is, overigens de belasting betaler bij uitnemendheid. Neen, Amerongen. Tegen wil en dank bevinden zich de silent-Djawian ook in de smeltkroes..."
(...tidak, Amerongen. Tidak perlu mengharapkan belas kasihan. Kezaliman telah berlangsung terlalu lama. Bumi Putera dar Tambusai dan mandahiling, Kepala dan Luhaknya semenjak dahulu merupakan orang hina, si orang patuh, yang oleh sebab itu mau terus dihina selama-lamanya, pembayar pajak yang paling taat. Tidaklah, Amerongen, Mau tak mau orang Jawi yang tenang itu menggelegak dalam kancah pergolakan..."), Sebutan Orang Jawi itu adalah orang Melayu Sumatera termasuk orang Minang dan Mandahiling, karena sebutan Melayu berarti orang Semenanjung Melaka.

Setelah beberapa hari setelah itu suatu malam bercuaca buruk Tuanku Tambusai beserta pasukannya melakukan penyerangan ke dalam Benteng Rao (Fort Amerongen), perkelahian tanpa senjata berlangsung sampai subuh, menjelang siang Tuanku Tambusai dapat menarik pasukannya keluar benteng.
Penyerangan ini rasa kagum orang Belanda.

27 April 1833 Belanda mengirim surat ke padang dengan bunyi "Wij moeten bergrijpen, dat Tuanku Tambusai schekracht is onaangetast, ondordringbaar..."
(Hendaknya kita mengeri, bahwa kekuatan Tuanku Tambusai adalah kekuatan yang tak dapat diserang, tak dapat diterobos...)

Bulan Juni 1883 di Padang tibalah Jenderal Mayor Riesz dengan membawa pasukan yang besar, Sementara Tuanku Tambusai melanjutkan perang dengan memasuki Angkola, demikian pula di mana-mana perlawanan terus berkobar

Ahli Pertahanan



Benteng Berjejer sampai ke Dalu-dalu


Usah Bauer untuk mengadakan perundingan gagal, sementara Belanda mengerahkan pasukan di sebelah timur, hal ini menjadi kesempatan bagi Tuanku Tambusai untuk membuat pertahanan, karna Tuanku merasa pertempuran akan tetap berlanjut beberapa tahun kedepan.
Abdul Qohar dalam catatan menulis :
"...maka dimuka laskarnya yang banyak itu beliau pun berucap begini bunyinya : Hai Pahlawanku yang gagah-perkasa! Kita pun telah sama tahu, bahwasanya tiadalah Pahlawan yang mati diatas katil, tetapi mati syahid berlaumuran darah di medan perang adalah lebih mulia daripada menutup mata diatas tilam yang gembur...Maka laskar itupun bersorak-sorai terlalu amat hiruk pikuk suaranya, sambil menganjung-anjung tombak dan bedilnya ke atastanda sesuainya.
Maka hamba lihat beliau menabur pandang menabur pandang kepada laskarnya yang banyak parasnya ramun dan berseri-seri...dan seterusnya"

Dengan tekat tersebut Tuanku Tambusai menambah kekuatan dengan mendirikan Benteng berjejer mulai dari mandahiling sampai ke Dalu-dalu
Pertama beliau mendirikan Kubu Talikumain
Kemudian dibangun lagi Benteng Baliang-baliang, disaat penduduk negeri lama mengosonkan kampung, benteng kedua lebih baik dari Talikumain.
Kemudian beliau membangun lagi Kubu Godong yang juga agak lebih baik dari kedua kubu sebelumnya.
Benteng yang terbesar adalah benteng yang dibangun sebelah timur. Area yang dilingkungi oleh Benteng ini sangat luas, cukup untuk mendirikan perkampungan. Tembok-tembok yang mengelilingi tebal dan kuat, terdiri dari tujuh lapis.
Tiap=tiap lapis, dari lapis yang pertama (paling luar) mempunyai pintu gerbang tersendiri dengan tutup yang dibuat dari papan tebal berlapis tiga, yang dipasang secara melintang dan membujur.
Pintu ini diberi berlubang tempat mengintip atau tempat mengeluarkan laras bedil untuk menembak.
Lubang seperti ini disebut dengan istilah "lubang kumbang". Tiap-tiap lapis mempunyai rahasia tersendiri, baik mengenai letak tempat persenjataan, persediaan makanan dan lain-lain, agar misalnya yang paling luar (lapisan pertama) dikuasai musuh, maka rahasia lapis kedua tidak mudah diketahui, karena tidak sama dengan lapis yang pertama.
Tembok benteng ini diperkuat dengan duri-duri (sejenis bambu), yang ditanam sedemikian rapatnya, hingga tak mudah diterobos. Dikelilingi Benteng bahagian paling luar dikelilingi parit yang dalamnya sampai 10 meter, dengan tebing yang curam.
Parit ini dibuat untuk menjaga, agar musuh tidak mudah mendekati tembok benteng untuk memanjat ataui merusakkan aur duri yang padat itu. Di dalam benteng yang luas itu didirikan pula rumah hingga berpuluh-puluh banyaknya. Benteng terbesar dan terkuat ini bernama "Kubu AUR DURI"
Benteng-benteng yang didirikan oleh Tuanku Tambusai dengan tentaranya ini berbentuk agak bundar, sedangkan benteng yang kemudian didirikan belanda untuk menandingi Benteng-benteng Paderi ini oleh Belanda dibuat agak persegi.

Setelah tugas membuat Benteng selesai Tanku Tambusai membawa pasukan kembali ke Padang Lawas melalui Gunung Intan, disepanjang jalan dalu-dalu didirikan kubu-kubu berukuran kecil, sedangkan di Gunung Intan sendiri didirikan sebuah benteng berukuran menengah, hal ini untuk mengahadapi kemungkinan, apabila kelak terpaksa mundur, sehingga daerah pertempuran dapat dipertahankan setaak demi setapak.
Belanda dapat kabar Tuanku Tambusai bergerak ke Gunung Intan, Pasukan belanda dikirim secara diam-diam untuk menangkap Tuanku Tambusai, barisan depat dicegat oleh belanda bulan Mei 1834, rupanya Belanda berhadapan dengan Panglima Imam Perang Muhammad Jawi yang terkenal itu, mereka bercerai berai digempur oleh pasukan IPM Jawi, Tuanku Tambusai pada barisan tengah mendapat berita, Tuanku Tambusai lalu membagi dua barisan satu ke Kotanopan dan satulagi Singengu, serangan yang dialkukan subuh itu mendatangkan kerugian besar pihak Belanda.
Dalam pertempuran itu meriam Belanda banyak jatuh ke tangan Paderi, dan gugurnya seorang Perwira menengah Pihak tuanku Tambusai seorang pemuda dari Tapanuli bernama Maringgit, pemuda ini panda berbahasa Belanda.
Setelah melakukan serangan balasan seperti sebelumnya. Tuanku tambusai dan seluruh pasukannya kembali ke Padang Lawas, Berumun dan Batang Gadis untuk memulai penyerangan besar-besaran terhadap Belanda yang telah mendatangkan malapetaka itu.

diringkas dari buku Perjuangan Tuanku Tambusai Pahlawan Riau, disusun oleh Drs. Umar ahmad Tambusai, Dinas P dan K thn 1990/1991)

Ahli Strategi Perang
diringkas dari buku Perjuangan Tuanku Tambusai Pahlawan Riau, disusun oleh Drs. Umar ahmad Tambusai, Dinas P dan K thn 1990/1991)

Medan Tempur Portibi dan Siminabun

Daerah Berumun, Angkola dan Batang Gadis memang merupakan tempat yang baik untuk mengembangkan pengaruh, menambah prajurit dan jumlah persenjataan, tetapi daerah inji tidak merupakan tempat yang baik bila terjadi pertempuran.
Karena itu, setelah melakukan penyelidikan, Tuanku Tambusai mengambil keputusan akan membawa seluruh pasukannya ke daerah Portibi dan Siminabun.

Maka pada awal tahun 1935, dengan dilepaskan secara adat, Rakyat Mandahiling di Angkola, Berumun dan Batang Gadis terpaksa harus berpisah dengan Ompu Baleo yang dicintainya itu. Tuanku Tambusai berada di barisan paling depan menunggu seekor kuda putih yang melangkah dengan lambat., sementara dibelakangnya, dikiri dan sebelah kananya berjalan perwira-perwira tinggi tentaranya, IPM Jawi, HM Saman dan beberapa Panglima lainnya.
Laskar yang berjumlah lebih kurang 7000 orang itu bergerak secara bergelombang, dilepas oleh penduduk dengan lambaian tangan dan air mata.
Rombongan Tuanku Tambusai masuk ke Sinambun, Tuanku Tambusai menghadap Datu Bange, menganjurkan agar Datu Bange memeluk Islam dan berjuang di pihak Paderi untuk menumpas "kafir" Belanda, namun Datu Bange menolak, Tuanku Tambusai meminta Datu Bange mengundurkan diri dari Sinabun.
Permintaan itu dikabulkan Datu Bange.
Tuanku Tambusai segera mengirim utusan kepada Raja Portibi, yakni Yang Dipertuan Djumadil Alam, meminta agar Yang Dipertuan sudi datang ke Siminabung, permintan itu dikabulkan, dengan ketulusan hatui Tuanku Tambusai agar Yang Dipertuan Djumadil Alam sudi memegang pemerintahan di Siminabung, sekaligus diangkat menjadi Panglima Perang untuk mempertahankan kota tersebut dari serangan Belanda.
Dan Yang Dipertuan Jumadil Alam kembali ke Portibi menobatkan Putera Mahkotanya Yang Dipertuan Muda Kali Alam menjadi Raja Portibi, Kini Siminabung dan Portibi bergabung menjadi satu. Kekuasaan Militer tertinggi dipegang oleh Tuanku Tambusai.
Sementara itu pihak Belanda berusaha mencari kontak dengan Tuanku Tambusai dan perjuangan paderi lainnya, guna mengadakan "Perundingan-Lamai" Ketika usaha untuk mengadakan "perdamaian" ini terus menerus gagal, Pemerintah Belanda menggantikan Bouer dengan Cleerens (Mei 1836) Cleerens selalu memperlihatkan sikap yang optimis untuk dapat menakluknan Tuanku Tambusai, tetapi sangkaan Cleerens ternyata gegabah, Cleerens harus menelan kenyataan pahit, ketika pasukan Belanda yang diperintahnmya menyerbu Bonjol mengalami kekalahan besar, dan kembali ke induk pasukan di Padang (4 desember 1836).
Ketika kepadanya diperintahkan agar menyusun pasukan untuk menyerang Tuanku Tambusai di medan perang Siminabung dan Portibi, dengan suara gemetar Cleerens berpidato dimuka para opsir tinggi Belanda di markas besarnya yang berkedudukan di Padang,, bahwa melihat kekuasaan Tuanku Tambusai, serta keberanian mereka yang luar biasa, maka Belanda tidak boleh memakai kekerasan untuk menghadapinya, karena itu akan sia-sia belaka. Dengan suara terputus-putus Cleerens berkata : "Geweld is ons door de evaring gebleken een slemt middle te zijn, vrijwel overboding..."
(Menurut pengalaman kami, kekerasan adalah suatu senjata yang buruk, boleh dikatakan tidak perlu...)
Akhirnya Cleerens digantikan dengan Letkol Michiels, walaupun Michiels dianggap lebih tegas dan berani untuk menghadapi Tuanku Tambusai.
Michiels berpendapat bahwa Tuanku Tambusai tentulah seorang yang memiliki keberanian yang luar biasa, karena dia sengaja meninggalkan kampung halamannya Dalu-dalu, dan datang ke Minangkabau dan Mandahiling untuk berperang melawan Belanda.
"Trachten wy ons den teestand te realiseeren" (Marilah kita coba untuk menginsafi kenyataan ini), demikian salah satu kalimat dalam surat Michiels kepada gubernur jenderal.
Karena itu, dalam bulan Januari 1937, Gubernur Jenderal segera mengirimkan Mayjen Cochius untuk melakukan penyelidikan kekuatan Paderi di Minangkabau dan Mandahiling, Chochius berpendapat, bahwa untuk melumpuhkan kekuatan Paderi, terlebih dahulu harus direbut pertahanan Tuanku Tambusai.
Cleerens berpendapat juga bahwa Pertahanan Tuanku Tambusai hanya dapat dihancurkan dengan menumpukkan seluruh kekuatan militer Belanda yang ada di Sumatera yang ditujukan khusus terhadap pasukan Tuanku Tambusai.

Pertempuran Besar di Siminabung dan Portibi
Masanya Belanda mengerahkan seluruh pasukannya menghadapi Tuanku Tambusai, Michiels memberangkatkan suatu pasukan yang besar arah utara dipimpin Mayor van Beethoven (Nopember 1837), terlebih dahulu singgah di Sipirok, karena di Sipirok ada perbedaan agama dengan kelompok Tuanku Tambusai.
Di Siminabun, bahagian depan memasuki Portibi dikawal kuat oleh pasukan Tuanku Tambusai dipimpin oleh Yang Dipertuan Djumadil Alam bersama-sama dengan Tuanku Tambusai.
Pada suatu padgi bulan Desember 1837 terjadi pertempuran yang sengit, selama seminggu akhirnya YD Djumadil alam gugur, hal ini membuat Belanda terus mengambil kesempatan menynyerang, Tuanku Tambusai terpaksa menarik pasukan keluar dari  keluar Siminabun, menuju Portibi.
Benteng Siminabun diduduki Belanda.
Menghadapi Benteng Portibi perlu persiapan yang kuat karena Benteng Portibi lebih baik dari Siminabun, maka pasukan Belanda ditambah dari padang, namun tidak dapat dipenuhi.
Sembilan hari pasukan Beethoven melakukan gempuran terhadap benteng Portibi, mayat Belanda bergelimpangan, Tuanku tambusai bersama Kali Alam dapat mengkoordinis pasukan sehingga kuat.
Malam 21 Desember 1837 beberapa orang tentara menyusup membakar persediaan, namun dapat di padamkan dan melumpuhkan beberapa Belanda ditikam.
Pada tanggal 23 Desember 1837 Tauanku Tambusai bersama dengan apsukan caveleri (berkuda) melakukan serangan balasan terhadap pertahanan Belanda di luar Portibi yakni dekat Siminabun, terlebih dahulu mengirim pasukan dari bahagian timur, lalu Tuanku Tambusai menyerang bagian selatan, Belanda bercerai berai dan meriam dapat di rampas, kerugian besar di pihak Belanda.
Akhirnya Belanda menarik pasukan ke Siminabun, dan menunggu pasukan yang dimintanya ke Padang mulai bergerak.
Beberapa hari setelah Tahun Baru 1838, Belanda melakukan penyerangan terhadap pertahanan Tuanku Tambusai dipimpin oleh Michiels dan Beethoven.
Terjadi kecelakaan dalam benteng Protibi, musiu terbakar oleh percikan api, banyak prajurit Tuanku Tambusai terbakar,Bethoven dan Michiels yang memahami hal tersebut segera mempergunakan kesempatan, langsung melakukan serangan kedalam benteng Portibi. Akhirnya Pasukan Tuanku Tambusai mundur dari benteng Portibi menuju Sungai Pinang, walaupun kemenangan di Belanda namun General Gubernur dui Padang masih menganggap kemenagan itu tidak ada perkembangannya.

Pertempuran Kota Pinang dan Gunung Intan
Pasukan Tambusai yang bergerak menuju Kota Pinang bergerak dalam dua gelombang, Pasukan Pertama pasukan Invantri, sedangkan kaveleri berangkat kemudian.
Dikota Pinagn, mereka mendapat sambutan yang baik dari Tuanku Kota Pinang, populer dengan panggilan Yang Dipertuan Kota Pinang, malahan menambah pasukan untuk bergabung.
Bulan Februari 1838 dilakukan penyerangan ke Portibi, namun pihak Tambusai banyak jatuh Korban.
Sementara merencanakan siasat perang tengah malam Pasukan Belanda menyerang Kota Pinang, akhirnya pasukan Tuanku Tambusai terpecah dan terpencar.
Maka Tuanku Tambusai merasa sudah tiba saatnya untuk membawa seluruh pasukannya kembali ke Dalu-dalu menempati benteng-benteng yang telah dipersiapkan beberapa tahun sebelumnya (1834)
Dimuka laskar yang telah bergabung Tuanku Tambusai berpidato menjelaskan situasi, bahwa kini seluruh kekuatan Belanda tertuju kepada mereka secara mutlak, karena perang jawa (maksudnya Perang Diponegoro) telah lama berakhir, sedangkan Tuanku Imam Bonjol telah ditawan Belanda, oleh sebab itu saatnya berjuang mati-matian.
Disaat itu Imam Perang Biru, salah seorang Panglima Perang dari Pasukan Tuanku Tambusai telah berpidato dengan penuh emosi, Abdul Qohar dalam catatannya menyebutkan :
"...maka dengan mata yang nyalang, Tuanku Imam Perang Biru pun berucaplah, demikian katanya; hai laskar sekalian. Adakah tuan-tuan merasa gentar setelah mendengar penjelasan dari beliau (maksudnya Tuanku Tambusai,pen) tadi?
Kalau Tuan-tuan merasa gentar, maka marilah kita sama-sama meletakkan kain kokok (cara mengikat kain seperti perempuan, pen) dan memakai sanggul, karena tidak ada bedanya kita itu dengan perempuan.
Kalau terllalu gentar juga, bersembunyilah kita kedalam gendongan emak kita, dan kembali jadi budak-budak (anak kecil).
Dan kalau terlalu gentarnya kita, maka pergilah ke tepi batang sosah, tambatkan batu yang ada disitu ke leher, lalau terjunkan diri ke dalam air..."....
Untuk memperlambat jalannya perang, Tuanku Tambusai tidak segera membawa pasukannya ke Dalu-dalu. Mereka ditempatkan di benteng-benteng sebelum Dalu-dalu, agar mereka dapat bertahan setepak demi setapak. Dengan demikian, pasukan Tuanku Tambusai menduduki seluruh benteng-benteng yang pernah mereka buat antara Gunung Intan dan Dalu-dalu.
Pertempuran berlasung selangkah demi selangkah dengan menghadapi pasukan Michiels yang memasuki wilayah Luhak Rokan IV Koto melalui Padang Nunang Rumbai dan Tibawan, sedangkan pasukan lainnya menuju benteng Kubu Tali Kumain.

Dalu-dalu Medan Pertempuran Terakhir

Sementara itu Kubu Talikumai (dipinggir Dalu-dalu) mendapat serangan yang dahsyat pula dari Belanda.
Pertahanan di  Benteng tersebut dipimpin oleh Tuanku Tambusai bersama dengan HM Saman, penyerangan dipimpin oleh Michiels, saatnya Michiels berhadapan dengan De Padreische Tijger van Rokan, Pasukan Tambusai terkepung disini. setelah mendapat Bantuan dari pasukan Belanda di belakang maka pasukan tambusai terpaksa menarik pasukan dari medan perang dan masuk menempati kubu baling-baling dan kubu godong.
Belanda menyerang Kubu Baling-baling dan godong dua hari setelahnya, sementara Tuanku Tambusai sudah memasuki Benteng Aur duri agar dapat mengatur segala sesuatunya.
Akhirnya Michiels menyerang Benteng Aur Duri selama satu hari penuh namun tidak dapat menguasai benteng besar ini walau pasukan sudah beratmbah dari Gunung Intan, April 1838.
Pada bulan Mei 1939 Michiels kembali membawa pasukannya yang besar ke Dalu-dalu, berbulan-bulan lamanya pertempuran ini b erlangsung, akhirnya barulah pasukan Tuanku Tambusai bertahan di Benteng Aur Duri.
Awal Desember 1839 hari pertama belum berhasil apa-apa, dan beberapa hari berikutnya terjadi peperangan habis habisan, dikarenakan bantuan tambahna terus mengalir maka pasukan Tuanku Tambusai lemah dikarenakan sudah banyak yang mati, sakit, dan tua-tua.
Akhirnya Tuanku Tambusai terpaksa mengundurkan diri, keluar melalui pintu rahasia, Belanda tidak dapat melakukan pengejaran.
Sampan terakhir adalah sampan kenaikan Tuanku Tambusai. Setelah Michiels masuk dan memperhatkan benteng tidak ditemukan Tuanku Tambusai, ia marah dan berteriak kita telah melepaskan hariamu dari perangkapnya, dari serdadu yang mengaku telah menembak Tuanku Tambusai yang jatuh jke sungai tidak muncul lagi mengatakan Tuanku Tambusai sudah mati.
Berdasarkan hal ini maka laporan ke Padang Michiels menulis antara lain "...zij stirven in Batang Sosah..." (Tuanku Tambusai dan Panglimanya) mati di Batang Sosah...."(http://www.rokanhulukab.go.id)

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Pahlawan Nasional dari Rokan Hulu (Tuanku Tambusai)"

  1. Salam.. Mohon pencerahan pada sesiapa yg punya info. Siapakah haji muhammad saman itu.. Orang mandailing dari pasir pangaraian kah..?

    BalasHapus